Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2025

How It Feels to Be Unchosen Quietly

Gambar
Ada masa di mana aku merasa semua baik-baik saja. Bahwa hubungan yang panjang itu cukup jadi alasan untuk tetap saling memahami, meski tak selalu beriringan. Aku terbiasa jadi yang lebih dulu. Lebih dulu bertanya, lebih dulu hadir, lebih dulu mengingat. Kupikir, itu bentuk sayang yang tak butuh imbalan. Karena ketika seseorang berarti, kita tak menghitung-hitung, bukan? Tapi pelan-pelan aku belajar, bahwa tidak semua hal yang kita beri waktu akan tumbuh. Ada yang memang dari awal tak ingin disiram. Ada yang memang memilih layu sejak lama, tapi kita terlalu sibuk berharap ia mekar kembali. Aku pernah diam, dengan harapan kamu membaca. Pernah menunggu, dengan keyakinan kamu akan datang. Pernah mengalah, bukan karena salah, tapi karena ingin menjaga. Kupikir, itu cukup. Tapi ternyata, diam tak selalu dimengerti. Menunggu tak selalu dihargai. Dan mengalah pun bisa jadi celah untuk dilupakan. Aku mulai sadar, bahwa mungkin aku yang terlalu ribut menjaga sesuatu yang kamu anggap biasa....

Confidence in Silence

Kadang, dunia melihat apa yang kutampilkan — bukan apa yang sebenarnya kurasakan. Hari-hari ini, aku berdiri di ruang yang mungkin terlihat mapan. Ada tanggung jawab, ada kepercayaan yang disematkan orang lain. Tapi di dalam diriku, tidak selalu seperti itu rasanya. Aku sering merasa seperti sedang mengenakan jaket kebesaran. Orang melihatku mampu, tapi aku sendiri kerap ragu. Tidak semua pertanyaan dalam kepala bisa kujawab dengan mantap. Tidak semua opini berani kusuarakan. Ada yang selalu menggantung — semacam rasa malu, atau takut dinilai, atau mungkin, luka lama yang belum selesai. Kalau ditanya dari mana datangnya semua keraguan itu, mungkin aku tak bisa memberi jawaban pasti. Tapi kalau kuurai perlahan… sepertinya aku mengerti. Aku tumbuh tanpa banyak pelukan. Bukan karena kehilangan, tapi karena jarak emosi yang terlalu dini dan terlalu dalam. Sejak kecil, aku belajar menahan diri — karena tidak tahu kepada siapa harus bicara. Dan dari situ, perlahan aku belajar untuk diam… t...

When the Timing Hurts, But the Dreams Still Live

  Ada masa di mana semuanya terasa menjanjikan. Aku menyusun ulang hidupku seperti merapikan buku-buku lama yang selama ini hanya disusun asal. Ada gairah untuk mulai lagi. Gairah yang datang bukan karena tekanan, tapi karena harapan. Harapan yang muncul dari keyakinan: bahwa waktuku untuk memulai hidup dengan ritme baru... sudah dekat. Aku bahkan sudah punya daftar kecil tentang hal-hal yang akan kulakukan: mendaftar kembali ke bangku kuliah, membangun koneksi dengan tubuhku lewat olahraga, memberi ruang untuk hal-hal personal yang selama ini hanya bisa kutunggu diam-diam. Aku percaya waktunya hampir tiba. Tapi yang datang justru... ketidakpastian. Sesuatu yang sebelumnya begitu meyakinkan, tiba-tiba menggantung di udara. Tidak datang. Tidak pergi. Tidak rusak. Tapi juga tidak jadi nyata. Dan aku yang sebelumnya penuh semangat, sekarang malah membisu dalam kecewa. Karena nyatanya, aku membangun ekspektasi yang terlalu indah. Ekspektasi yang tumbuh dalam diam, tapi menghancurka...