How It Feels to Be Unchosen Quietly
Bahwa hubungan yang panjang itu cukup jadi alasan untuk tetap saling memahami, meski tak selalu beriringan.
Aku terbiasa jadi yang lebih dulu.
Lebih dulu bertanya, lebih dulu hadir, lebih dulu mengingat.
Kupikir, itu bentuk sayang yang tak butuh imbalan.
Karena ketika seseorang berarti, kita tak menghitung-hitung, bukan?
Tapi pelan-pelan aku belajar,
bahwa tidak semua hal yang kita beri waktu akan tumbuh.
Ada yang memang dari awal tak ingin disiram.
Ada yang memang memilih layu sejak lama, tapi kita terlalu sibuk berharap ia mekar kembali.
Aku pernah diam, dengan harapan kamu membaca.
Pernah menunggu, dengan keyakinan kamu akan datang.
Pernah mengalah, bukan karena salah, tapi karena ingin menjaga.
Kupikir, itu cukup.
Tapi ternyata, diam tak selalu dimengerti.
Menunggu tak selalu dihargai.
Dan mengalah pun bisa jadi celah untuk dilupakan.
Aku mulai sadar, bahwa mungkin aku yang terlalu ribut menjaga sesuatu yang kamu anggap biasa.
Bahwa mungkin aku yang terlalu keras bertahan,
sementara kamu bahkan tak merasa sedang kehilangan apa-apa.
Dan saat aku berhenti, bukan karena lelah…
tapi karena akhirnya aku mengerti—
bahwa tidak semua orang akan memeluk dengan cara yang sama.
Kadang, kita bukan kehilangan orangnya.Tapi kehilangan versi diri kita yang terlalu keras mencoba untuk cukup.
Komentar
Posting Komentar