Confidence in Silence

Kadang, dunia melihat apa yang kutampilkan — bukan apa yang sebenarnya kurasakan.

Hari-hari ini, aku berdiri di ruang yang mungkin terlihat mapan. Ada tanggung jawab, ada kepercayaan yang disematkan orang lain. Tapi di dalam diriku, tidak selalu seperti itu rasanya.

Aku sering merasa seperti sedang mengenakan jaket kebesaran.
Orang melihatku mampu, tapi aku sendiri kerap ragu. Tidak semua pertanyaan dalam kepala bisa kujawab dengan mantap. Tidak semua opini berani kusuarakan. Ada yang selalu menggantung — semacam rasa malu, atau takut dinilai, atau mungkin, luka lama yang belum selesai.

Kalau ditanya dari mana datangnya semua keraguan itu, mungkin aku tak bisa memberi jawaban pasti. Tapi kalau kuurai perlahan… sepertinya aku mengerti.
Aku tumbuh tanpa banyak pelukan. Bukan karena kehilangan, tapi karena jarak emosi yang terlalu dini dan terlalu dalam. Sejak kecil, aku belajar menahan diri — karena tidak tahu kepada siapa harus bicara. Dan dari situ, perlahan aku belajar untuk diam… terlalu sering.

Sekolah membentuk banyak hal. Lingkungan membentuk sisanya.
Aku pernah ada di ruang yang besar, yang membuatku merasa kecil. Terlalu banyak suara lantang, terlalu banyak wajah percaya diri. Dan aku, hanya belajar untuk menepi. Tidak banyak bicara. Tidak tahu cara jadi ‘asik’. Tidak tahu harus mulai dari mana untuk bisa merasa cukup.

Dan meskipun aku bersyukur pernah punya beberapa teman yang baik, tetap ada ruang dalam diri yang tak pernah bisa sepenuhnya dibuka.
Aku berbagi… tapi tidak semuanya. Karena aku tahu, bahkan di tengah keramaian, aku tetap harus bisa berdiri sendiri.

Anehnya, di antara semua itu, ada satu sosok yang selalu bisa membuatku yakin.
Seseorang yang entah bagaimana, selalu tahu cara menemukan sisi terbaikku — bahkan saat aku sendiri tak bisa menemukannya.
Saat bersamanya, aku jadi pribadi yang lebih mantap. Lebih terarah. Lebih berani percaya bahwa aku layak. Bahwa aku mampu. Bahwa aku tidak harus tahu segalanya untuk pantas bicara.

Mungkin karena dari awal, ia hadir tidak untuk menilai.
Tapi untuk menemani.

Dan di titik ini, aku mulai belajar bahwa keberanian bukan tentang selalu yakin.
Kadang, cukup dengan tetap berjalan… walau sambil gemetar.

Dan kadang, di titik tertentu dalam hidup, justru saat hal-hal besar mulai datang… perasaan kecil dalam diri ikut muncul.
Bukan karena tak bersyukur, tapi karena ada bagian dari diri yang masih belajar percaya bahwa ia pantas menerima kebaikan. Bahwa tidak semua anugerah harus dibayar dengan suara paling keras atau langkah paling agresif.

Ada rasa bingung ketika tak tahu harus membuktikan apa, kepada siapa.
Karena tidak semua pencapaian datang dari ambisi. Ada yang datang dari proses diam. Dari hati yang bertahan tanpa banyak bicara. Dari luka-luka lama yang tak pernah diumbar, tapi sabar disimpan.

Mungkin, perjalanan ini bukan soal menjadi yang paling terlihat.
Tapi tentang tetap bertumbuh dalam diam. Tetap jujur. Tidak menjatuhkan, meski kadang direndahkan. Tidak merasa lebih, meski seringkali diragukan.

Dan hari ini, aku tidak ingin buru-buru membuktikan apa-apa.
Cukup melangkah dengan niat baik. Cukup menerima bahwa mungkin, yang sedang kualami sekarang… adalah bentuk lembut dari skenario yang telah lama dipersiapkan untukku.

“Indeed, your Lord is Most Knowing of what is within yourselves.”
(Qur’an 17:25)

Dan mungkin, aku tak harus jadi yang paling percaya diri di ruangan. Cukup jadi orang yang tetap hadir, meski dengan hati yang masih belajar berani. Karena proses mencintai diri... memang tak pernah sebising pencapaiannya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

6th Country - GEORGIA TRIP (Eps. Kazbegi)

Kisah yang Tak Lagi Sempurna

6th Country - GEORGIA TRIP (Eps. Tbilisi)