When the Timing Hurts, But the Dreams Still Live

 

Ada masa di mana semuanya terasa menjanjikan.

Aku menyusun ulang hidupku seperti merapikan buku-buku lama yang selama ini hanya disusun asal. Ada gairah untuk mulai lagi. Gairah yang datang bukan karena tekanan, tapi karena harapan. Harapan yang muncul dari keyakinan: bahwa waktuku untuk memulai hidup dengan ritme baru... sudah dekat.

Aku bahkan sudah punya daftar kecil tentang hal-hal yang akan kulakukan:
mendaftar kembali ke bangku kuliah, membangun koneksi dengan tubuhku lewat olahraga, memberi ruang untuk hal-hal personal yang selama ini hanya bisa kutunggu diam-diam.

Aku percaya waktunya hampir tiba. Tapi yang datang justru... ketidakpastian.
Sesuatu yang sebelumnya begitu meyakinkan, tiba-tiba menggantung di udara. Tidak datang. Tidak pergi. Tidak rusak. Tapi juga tidak jadi nyata.

Dan aku yang sebelumnya penuh semangat, sekarang malah membisu dalam kecewa. Karena nyatanya, aku membangun ekspektasi yang terlalu indah. Ekspektasi yang tumbuh dalam diam, tapi menghancurkan begitu keras saat jatuh ke kenyataan.

Yang membuat semuanya makin berat: aku sedang dalam fase menyembuhkan luka lain yang jauh lebih lama dan lebih sunyi. Aku kehilangan ibuku. Dan sejak itu, dunia terasa lebih sepi. Aku anak tunggal, jadi kehilangan itu seperti kehilangan titik pusat. Tak ada tempat pulang yang benar-benar mengerti. Tak ada sosok yang bisa mengisi kekosongan yang ia tinggalkan.

Ayahku masih ada. Tapi sejak dulu, kami seperti dua orang asing yang kebetulan tinggal dalam satu keluarga. Ia orang baik, dalam cara yang sangat formal dan dingin. Lurus. Kaku. Tidak pernah benar-benar bisa menyentuh hatiku. Kami jarang berbicara dari hati, dan tak pernah benar-benar nyambung.

Kadang aku masih mengirim pesan—sekadar basa-basi. Bukan karena rindu. Tapi karena merasa bersalah jika tidak. Karena aku tahu, mungkin hanya aku satu-satunya ruang hidupnya yang tersisa.
Tapi itu melelahkan. Melelahkan berpura-pura peduli saat hatiku sendiri sedang kosong.
Aku ingin dekat, tapi tidak tahu caranya. Dan ia pun tak pernah memberi jalan untuk benar-benar saling memahami. Ada semacam kekosongan emosi yang sudah lama kami pelihara—diam-diam dan tanpa kata.

Tapi... di antara semua hal yang tidak aku miliki dalam hidup, aku punya satu keberuntungan besar.
Seseorang yang mungkin dikenal orang sebagai sosok ambisius di dunia luar—serius, visioner, tegas di pekerjaannya—tapi di balik semua itu, ternyata adalah rumah yang paling lembut yang pernah aku kenal.

Suamiku.
Seseorang yang usianya jauh di atasku, berbeda generasi, berbeda cara berpikir... tapi justru menyentuh perasaanku dengan cara yang sangat dalam.
Ia tidak pernah bingung menghadapi gejolak emosiku yang tidak stabil, tidak pernah lelah mendengarkan keluh kesah yang bahkan kadang aku sendiri malu untuk ulangi.
Ia hadir di setiap lapisan emosiku—marah, sedih, takut, lelah, kosong, berharap. Ia tidak pernah menjauh. Tidak pernah merasa risih. Ia diam, menguatkan, dan terus mengulurkan tangannya bahkan saat aku tidak meminta.

Di manapun kami berada, ia selalu membuat rumah.
Bukan karena tempatnya indah, tapi karena ada hatinya di sana.
Ia bertanggung jawab bukan hanya dalam urusan luar, tapi juga pada isi kepalaku, isi hatiku. Ia penuh cinta, perhatian, dan kesetiaan yang tidak banyak diumbar, tapi terasa nyata setiap hari.

Dalam dunia yang kadang kejam, aku memiliki seseorang yang lembut.
Dalam hidup yang sering terasa tidak adil, aku memiliki seseorang yang adil mencintaiku—tanpa syarat, tanpa pamrih.
Dan di antara semua ekspektasi yang hancur, ia tetap jadi satu hal yang paling nyata dan paling teguh.

Saat ini, aku belum tahu akan seperti apa langkahku.
Rencanaku belum berjalan. Ekspektasiku baru saja tumbang. Tapi aku tahu, selama ada tangannya menggenggamku, aku tidak benar-benar kehilangan arah.

Dan meski hari ini belum waktunya, aku tetap percaya:
bahwa rencana itu akan tetap hidup.
Bahwa impian besar itu akan terus kami usahakan.

If it’s meant to be, it will find its way.
Because everyone has their own time — and we’ll welcome ours, when it comes.

“Indeed, with hardship comes ease.”
(Qur’an 94:6)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

6th Country - GEORGIA TRIP (Eps. Kazbegi)

Kisah yang Tak Lagi Sempurna

6th Country - GEORGIA TRIP (Eps. Tbilisi)