Aku pernah berpikir bahwa pencapaian dalam hidup adalah tentang kebahagiaan. Tentang senyum bangga, pelukan hangat, dan banyaknya word of affirmations yang kudapatkan,
“Selamat, anakku tersayang, cintaku, harapanku, belahan jiwaku.”
Haha, dulu aku selalu dipanggil begitu—bucin banget ya, ibuku... Belum lagi deretan status WhatsApp yang mengutarakan kebanggaan, padahal pencapaian belum seberapa. Tapi hidup mengubah segalanya. Sejak Ibu pergi, arti pencapaian ikut terkikis bersama kepergiannya.
Ibu selalu menjadi sosok yang paling mengapresiasi setiap usahaku, sekecil apa pun. Ia tak pernah setengah-setengah dalam mendukungku. Ibu adalah orang pertama yang percaya bahwa aku bisa, bahkan ketika aku sendiri ragu. Ia selalu hadir sepenuhnya—dengan pelukan, semangat, dan doa tanpa henti. Setiap pencapaian yang kuperoleh selalu disambutnya seolah itu adalah pencapaian terbesar di dunia.
Aku ingat betul, di H-1 sebelum Ibu pergi untuk selamanya—saat beliau sedang kritis—aku baru saja mendapatkan promosi jabatan. Sebuah pencapaian yang mungkin paling menyakitkan, karena aku tidak bisa berbagi kebahagiaan itu dengan Ibu. Bahkan di hari yang sama, saat Ibu menghembuskan napas terakhir, suamiku juga mendapat promosi. Seharusnya itu menjadi momen penuh kebahagiaan. Pasti Ibu sudah kuundang ke Jakarta, karena dari dulu kita selalu merayakan momen-momen kecil bersama. Tapi nyatanya, itu justru menjadi hari paling menyakitkan dalam hidupku. Rasanya seperti diberi hadiah dalam kondisi tangan yang sudah tak mampu menggenggam.
Dan sekarang, setiap kali ada pencapaian baru—sekecil apa pun itu—aku justru menangis. Tangisan yang datang bukan karena sedih atas hasil, tapi karena ada kekosongan yang tak bisa diisi. Bahkan saat aku memulai perjalanan baru, seperti travelling—yang selama ini masih jadi wishlist-ku—aku merasa bahagia... tapi sekaligus sangat rindu. Rindu sosok yang dulu selalu membanggakan setiap langkahku, setiap keberanian kecil yang aku ambil. Setiap tempat yang aku datangi jadi ruang refleksi—dan tempat berandai-andai... seandainya Ibu ada di sini.
Perjalanan-perjalanan itu seharusnya jadi momen penuh suka cita, tapi yang hadir justru hening dan air mata. Wkwk, sumpah deh... aku tuh gak berani banget buat ingat Ibu kadang. Buat buka chat lama, buat lihat galeri... karena pasti banjir air mata. Dan rasa sakitnya, ternyata, semakin hari justru semakin bertambah.
"Karena ternyata, kehilangan orang yang sangat mencintai kita jauh lebih menyakitkan daripada kehilangan orang yang kita cintai. Apalagi kalau keduanya adalah orang yang sama—seperti Ibu."
Dulu, setiap langkah maju selalu aku persembahkan untuk Ibu. Belajar mati-matian demi IPK, masuk SMA favorit, pekerjaan pertama yang jauh dari rumah, dan keberhasilan lainnya—semuanya terasa istimewa karena ada satu orang yang selalu menantikan kabar baik itu dengan mata berbinar. Tapi sekarang, keberhasilan justru membawa luka. Aku berdiri di sini dengan hati kosong. Tak ada lagi rumah yang menanti dengan aroma masakan Ibu. Tak ada lagi ciuman dan pelukan Ibu yang super hangat. Gak ada lagi yang bisa aku gemesin, karena sering ngambek.
Ternyata... melanjutkan hidup tanpa Ibu itu sangat berat yaa...
Aku belajar bahwa kehilangan bisa mengubah cara kita memaknai hidup. Dan ternyata, tidak semua keberhasilan membuat hati penuh.Ada keberhasilan yang justru terasa paling menyakitkan—karena orang yang paling ingin kita bahagiakan sudah tiada.
Tapi mungkin, di balik semua rasa sakit ini, ada bentuk cinta yang abadi. Karena aku masih terus melangkah. Masih terus mencoba menjadi versi terbaik dari diri ini—bukan untuk dunia, tapi untuk seseorang yang pernah mencintaiku dengan seluruh jiwanya.
Ibu, jika kau bisa melihatku dari sana... ketahuilah, semua ini tetap untuk Ibu.
Semoga Amel bisa ketemu Ibu nanti. Dulu Amel punya banyak bayangan dan wishlist—semua yang pengen Amel minta pas udah di surga. Tapi ternyata...
Ibu sendiri adalah definisi surga.
Dan Amel pengen hidup selamanya sama Ibu di surga.
Love you, Ibu.
Anak tunggalmu ini... insyaAllah kuat yaa, hingga waktu itu datang.
Komentar
Posting Komentar