Apakah Kebutuhan Eksistensi Itu Penting?

Kalau boleh jujur, dulu aku adalah tipe orang yang energinya datang dari validasi. Aku butuh dilihat, butuh didengar, dan butuh merasa menjadi pusat perhatian atau center of attention. Rasanya, nilai diriku baru terbukti kalau ada tepuk tangan dari orang lain, ada likes yang membanjiri postingan, atau namaku disebut-sebut dalam sebuah forum.

Aku sibuk membangun panggungku sendiri dan memastikan lampu sorotnya selalu mengarah padaku. Dulu aku takut tidak didengar, dulu aku takut salah, dan dulu aku sangat takut tidak dilibatkan. Aku akan berusaha lebih keras, berbicara lebih lantang, dan melakukan apa saja agar eksistensiku diakui. Lelah? Tentu saja. Ada kekosongan yang aneh setiap kali tepuk tangan itu berhenti. Seolah-olah, aku harus terus berlari mencari pengakuan baru agar tidak merasa hampa.

Namun, seiring berjalannya waktu, sesuatu dalam diriku berubah. Perlahan tapi pasti, aku tidak lagi merasakan urgensi itu. Dalam sebuah komunitas, organisasi, atau lingkungan pertemanan, rasanya sekarang aku hanya cukup melakukan porsiku tanpa butuh validasi berlebihan. Aku tetap berusaha menjadi versi terbaik dari diriku, tapi tujuannya bukan lagi untuk panggung dan lampu sorot itu. Aku merasa... cukup.

Aku mencoba menarik benang merah dari perubahan ini, dan jawabannya ternyata sederhana: tangki cintaku sudah penuh.

Dulu, aku mungkin mencari pengakuan dari banyak orang untuk mengisi tangki yang terasa kosong. Aku butuh seratus validasi kecil untuk menambal satu lubang besar. Tapi sekarang, tangki itu diisi setiap hari oleh satu sumber yang paling penting: suamiku.

Aku sudah cukup setiap hari dipenuhi dengan pujiannya atas hal-hal kecil. Aku sudah cukup dengan act of service-nya yang tak pernah putus. The way he treats me, the way he appreciates me... it's more than enough. Suamiku membuatku sadar akan nilaiku sendiri (my husband makes me know my worth), sebuah perasaan yang dulu selalu kucari dari orang lain. Caranya mendengarkan ceritaku, merayakan kemenangan kecilku, dan memelukku saat aku gagal, ternyata sudah lebih dari cukup untuk membuatku merasa utuh.

Jujur saja, dulu aku tidak pernah mendapatkan itu dari laki-laki. Kalau direnungkan lagi, mungkin ini ada hubungannya dengan masa lalu. Aku hampir tidak pernah mengobrol dengan ayahku. Apakah itu yang menjadikan tangki cintaku rasanya selalu kurang dan butuh pengakuan dari luar? Apalagi dengan posisiku sebagai anak tunggal, aku merasa butuh selalu main dengan sahabatku, butuh diakui dengan kelihatan punya banyak teman, butuh sosialisasi terus-menerus.

Dan ternyata, pernikahan telah mengubah semua persepsi itu. Dukungan yang tanpa syarat dan cinta yang konsisten dari suamiku menjadi fondasi yang begitu kokoh, sehingga aku tidak lagi goyah hanya karena tidak mendapat perhatian dari orang lain.

Pengakuan dan perhatian dari dunia luar kini terasa seperti bonus. Jika aku mendapatkannya, aku bersyukur. Tapi jika tidak, itu sama sekali tidak mengurangi nilaiku. Itu bukan lagi sebuah kebutuhan yang harus aku kejar mati-matian.

Jadi, apakah kebutuhan eksistensi itu penting? Mungkin pertanyaannya perlu diubah. Bukan "apakah", tapi "dari siapa?". Karena pada akhirnya, kita semua butuh merasa berarti. Dan bagiku, merasa berarti di mata satu orang yang paling berarti, sudah cukup untuk membuat seluruh dunia terasa sunyi dan damai.

Bagaimana denganmu? Apakah dukungan satu orang yang sangat berarti bisa mengalahkan dukungan ribuan orang yang mungkin dengan mudah melupakanmu? Let me know please.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

6th Country - GEORGIA TRIP (Eps. Kazbegi)

Kisah yang Tak Lagi Sempurna

6th Country - GEORGIA TRIP (Eps. Tbilisi)