Setelah Panggung Usai: Sebuah Refleksi Tentang Rasa "Cukup"
Halo lagi, dari sudut mejaku yang paling pojok di kantor HAHA
Tiga hari sudah berlalu sejak tirai panggung itu resmi ditutup—sebuah puncak dari persiapan panjang selama dua bulan. Misi sebagai ketua panitia akhirnya tuntas. Perasaan yang paling dominan saat ini? Lega. Sebuah kelegaan yang membalut seluruh tubuh saat akhirnya aku bisa kembali ke rumah, ke hening yang terasa begitu mewah setelah hiruk pikuk yang tak ada habisnya.
Sambil melepas lelah, aku membiarkan pikiran berkelana. Merefleksikan semua yang terjadi. Aku merasa telah menjalankan tugasku sebaik mungkin, mengawal setiap detail yang terlihat maupun yang tersembunyi di balik layar. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa tidak butuh pengakuan atas itu semua.
Perkara dapat tepuk tangan atau tidak, rasanya doesn't matter anymore. Ada sebuah kepuasan batin yang membisikkan kata "cukup". Cukup, karena aku tahu aku sudah memberikan yang terbaik. Perasaan ini terasa seperti sebuah pendewasaan, sebuah lompatan dari diriku yang dulu selalu mencari validasi dari respons orang lain.
Tapi, bukankah kita tetap manusia biasa? hehe.
Sebagai penutup, aku mengetik pesan terima kasih yang tulus di grup panitia, sebuah apresiasi untuk tim hebat yang sudah berjuang bersama. Lalu, yang kulihat hanyalah deretan centang biru. Tidak ada balasan.
Jujur, yang muncul bukan lagi rasa sedih, melainkan sedikit rasa kesal. "Kenapa ya, menunjukkan sedikit respek saja rasanya sesusah itu?" batinku.
Aku selalu memegang prinsip untuk antusias membalas pesan orang lain, karena aku tahu betul rasanya diabaikan. Jadi saat perlakuan yang sama tidak kembali, aku bertanya-tanya, "Kok yang aku tanam tidak tumbuh, ya?" Pikiran iseng pun sempat mampir, "Apakah aku memang nggak seasik itu, ya?"
Tapi secepat kilat, kusadarkan diri. Bukan, ini bukan tentang asik atau tidak. Ini tentang prinsip. Dan prinsipku adalah akan tetap respect pada siapa pun, karena begitulah caraku menghargai.
Setelah menarik napas panjang, aku menyadari sesuatu yang baru. Rasa kesal ini, walau nyata, tidak lagi mengakar di hati. Jika dulu mungkin aku akan terus memikirkannya, kini rasa "cukup" yang kumiliki menjadi perisainya. Perasaan itu hanya lewat, tidak sampai merusak kepuasan yang sudah susah payah kudapatkan.
Mungkin, inilah yang namanya bertumbuh. Bukan berarti kita jadi kebal rasa. Tapi kita jadi lebih bijak memilih, mana perasaan yang layak disimpan, dan mana yang cukup dilepaskan bersama hembusan napas.
Pada akhirnya, kepuasan terbesar datang dari cermin, bukan dari notifikasi ponsel. Dan hari ini, aku bangga dengan apa yang kulihat.
Komentar
Posting Komentar