It's Just a Cruel World
Part 1: Cruel World
Kadang aku ngerasa dunia ini terlalu kejam buat orang kayak aku.
Bukan karena aku kurang berusaha. Bukan karena aku nyakitin orang. Tapi emang ada aja momen di mana aku mikir, “am I not enough just the way I am?”
Aku tuh orangnya gak pandai ngomong. Aku gak jago nyeritain sesuatu dengan seru. Gak lucu. Gak bisa mencairkan suasana. Aku juga gak suka basa-basi cuma biar disukai. Dien dan ga asyik kali yaa hahaaa buat I’m just… me.
Aku gak pernah bermaksud jahat ke siapa pun. Aku gak ngomongin orang. Aku gak cari muka. Aku ga suka menjilat ya gimana menjilat yaa basa basi aja ga bisa. Tapi ternyata, dunia ini lebih sering milih yang bisa tampil “ramah”, yang bisa nyambung sama siapa aja — walaupun kadang, semua itu cuma permukaan aja. They look warm, but behind the scenes? Who knows.
Kadang aku mikir, kenapa ya orang-orang yang tampak paling ceria, paling mudah bergaul, justru yang sering ngomongin orang di belakang? Sedangkan aku yang banyak memilih diam dan “gak asyik”, malah dianggap aneh atau gak penting.
Aku pernah merasa seperti jadi orang luar di tengah keramaian. Saat semua orang ngobrol dengan mudah, aku malah bungkam. Saat mereka tertawa lepas, aku hanya bisa tersenyum tipis. Aku sadar aku gak punya cerita lucu yang bisa bikin suasana cair. Aku gak punya kata-kata manis yang bisa menarik perhatian. Aku cuma bisa jadi pendengar yang diam dan kadang merasa tak terlihat.
Mereka bilang, “Be your best version.” Tapi kalau versi diriku ini adalah orang yang pendiam, suka menyendiri, introvert, gak pandai cerita, dan gak bisa bikin orang nyaman, apa aku harus terus berusaha menjadi versi lain yang bukan aku?
Kadang aku bertanya pada diri sendiri, apakah aku harus berubah demi dunia yang kelihatannya lebih suka orang yang bisa tampil “palsu” tapi disukai banyak orang? Atau aku tetap menjadi diri sendiri yang sederhana, tapi sering kali terasa tak dianggap?
Aku gak tahu jawabannya. Yang aku tahu, dunia ini memang keras. Dunia ini tidak selalu adil buat orang seperti aku. Dan itu yang bikin aku lelah.
Aku lelah merasa harus berperan, harus pura-pura, hanya supaya dianggap. Aku lelah merasa tidak cukup baik hanya karena aku bukan tipe orang yang mudah didekati.
Tapi aku terus berjalan, walaupun kadang langkahku berat. Aku terus berusaha bertahan walau hati ini sering terasa sendirian.
---
Part 2: Husband in It
Tapi di tengah semua itu, ada satu orang yang bikin aku tetap kuat. Suamiku.
Dia satu-satunya orang yang bener-bener lihat aku. Yang gak pernah minta aku berubah jadi lebih ceria, lebih gampang gaul, lebih “nyaman” di mata orang. Dia gak pernah bikin aku ngerasa harus jadi versi lain dari diriku sendiri.
Dan yang paling indah adalah… justru bareng dia, aku bisa jadi versi terbaik dari diriku.
Aku bisa jadi diri aku sendiri — yang sesungguhnya. Aku bisa ceria, bisa bawel, bisa talkative. Aku bisa terbuka dan ngobrol panjang lebar tentang apa aja. Kita sering banget bertukar pikiran. Aku merasa bermanfaat, merasa dilihat, dan benar-benar hidup. Kita nyusun masa depan bareng, dan semua terasa possible karena dia ada di sampingku.
- With him, even my flaws feel like power in disguise. -
Dibalik kelemahanku — sifat pendiamku, rasa canggungku, perasaan tidak dianggapku — aku mulai menemukan kekuatan.
Kita power couple 💥
Bukan karena kita sempurna, tapi karena kita saling dorong untuk tumbuh. Saling isi. Saling kuatkan. Saling jadi rumah.
Satu per satu, mimpi-mimpi kami mulai terwujud.
Dari beli rumah, beli tempat usaha, sampai travelling the world together. Semua kami rencanakan dengan matang. Dari hal finansial sampai hal spiritual.
Kita bukan cuma punya mimpi dunia, tapi juga punya visi akhirat. Walaupun sampai saat ini masih terus mengupayakannya. Kami well-planned secara lahir… dan juga muhasabah untuk terus tentang diri kami
Dan dari semua impian yang kami tulis, ada satu yang paling besar: Aku ingin bersamanya sampai Jannah.
Ingin terus bersanding bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Karena kalau bersamanya saja sudah sebahagia ini di dunia, bagaimana mungkin aku tidak menginginkannya untuk selamanya?
Dia bukan hanya pasangan hidup.
Dia rumahku. Tempat aku pulang. Tempat aku merasa cukup, walaupun dunia bilang aku kurang. Tempat aku bisa berhenti berjuang sebentar, dan tetap dicintai.
Kalau someday dia gak ada, aku gak yakin aku bisa kuat.
Because honestly, he’s the reason I still hold on.
Aku kuat. Tapi bukan karena dunia ini baik. Aku kuat karena aku punya dia. Yang nerima aku apa adanya. Yang selalu bilang,
“You don’t have to change to be loved.”
Dan buat kamu yang mungkin ngerasa relate… yang suka mikir, "Apa aku harus jadi orang lain biar dianggap?" — please know this: kamu gak sendiri.
You are enough. Just the way you are.
And maybe one day, you’ll find your “home” too — in someone who sees you, not tries to fix you.
---
Jatibening, 7/17/25 23:21 WIB
With Love,
Amaliarch <3
Komentar
Posting Komentar